Cerita Rakyat Daerah Istimewa
Yogyakarta
Alkisah, di negeri Hindustan ada
seorang brahmana yang mempunyai anak laki-laki bernama Aji Saka. Sejak kecil
Aji Saka telah diajari berbagai ilmu pengetahuan dan kesaktian. Setelah dewasa,
ia minta izin orang tuanya untuk pergi ke Tanah Jawa mencari tambahan
pengalaman hidup dan mengamalkan ilmunya. Kepergian Aji Saka dengan kapal
disertai keempat abdinya: Duga, Prayoga, Dora, dan Sembada.
Karena kapal yang ditumpangi tidak
jadi berlayar ke Jawa, Aji Saka dan pengiringnya turun di Pulau Majeti, sebuah
pulau kecil dan penduduknya masih sedikit. Beberapa waktu kemudian, ketika ada
kapal yang akan ke Jawa berlabuh di sana, ternyata penumpangnya sudah penuh. Nakhoda
kapal hanya berani menambah tiga penumpang saja. Akhirnya mereka bersepakat,
yang berangkat dulu Aji Saka beserta Duga dan Prayoga, sedangkan Dora dan
Sembada untuk sementara ditinggal di Pulau Majeti.
Sebelum berangkat, Aji Saka berpesan agar keduanya tidak
meninggalkan Pulau Majeti kecuali dijemput oleh Aji Saka. Keduanya juga
ditugaskan menjaga keris pusaka Aji Saka serta harta pemberian orang tuanya
sebagai bekal dalam perjalanan. Keris dan harta tersebut tidak boleh diberikan
kepada siapa pun kecuali kepada Aji Saka sendiri.
Perjalanan Aji Saka akhirnya sampai ke Tanah Jawa di
negeri Medangkamulan. Ketika lewat sebuah desa, ia melihat seorang janda tua
menangis sambil memeluk anaknya di teritis rumah. Ketika ditanya mengapa
menangis, janda itu mengaku bahwa besok anaknya akan disembelih dan dagingnya
akan dijadikan santapan Prabu Dewata Cengkar, raja Kerajaan Medangkamulan.
Dikisahkan, Prabu Dewata Cengkar adalah raja raksasa yang
kepribadiannya berbeda dengan manusia biasa. Sifatnya buruk, seluruh
tindakannya penuh angkara murka.
Pada suatu hari, hampir saja Prabu Dewata Cengkar marah
besar gara-gara masakan yang disajikan juru masak keraton rasanya jauh berbeda
dari biasanya. Hambar! Maka, juru masak segera dipanggil dan ditanya mengapa
masakannya lain dari biasanya. Apa sudah lupa kesenangan raja? Apa sengaja
bikin marah junjungannya?
Ditanya seperti itu, si juru masak ketakutan setengah
mati. Sambil gemetar ia menjawab bahwa masakannya sama seperti kemarin-kemarin.
Racikan bumbu tidak berubah, cara memasak pun sama. Untung saja, mendengar
jawaban si juru masak, Prabu Dewata Cengkar tidak jadi marah dan hanya
memerintahkan agar ia segera masak lagi yang lebih enak untuk makan siangnya.
Mendapat perintah itu, si juru masak bergegas ke dapur. Karena
ia memasak dengan tergesa-gesa, ketika merajang bawang jari telunjuknya teriris
pisau sampai keluar darah cukup banyak. Ketika, ia memasukkan bumbu ke dalam
wajan, darah yang masih menetes-netes itu tidak diperhatikan lagi, sehingga
bercampur dengan masakan.
Tidak disangka-sangka, masakan kedua itu justru dianggap
lebih enak dan dipuji oleh Sang Prabu. Ketika ditanya bagaimana memasaknya
menjadi enak seperti itu, si juru masak menjawab apa adanya, bahwa bumbu dan
cara memasaknya sama, tidak ada perbedaan sama sekali. Prabu Dewata Cengkar tidak percaya dan memaksa juru
masak mengaku apa rahasianya.
Akhirnya, sambil ketakutan ia mengaku bahwa masakannya
tadi tercampur darah dari jarinya yang teriris pisau. Ia pun menunjukan
telunjuk tangan kirinya yang masih luka dan dagingnya terkelupas. Mendengar pengakuan
tersebut, Prabu Dewata Cengkar bukannya marah, melainkan tertawa
terbahak-bahak, “Kalau darah manusia saja sudah membuat masakanmu jadi enak,
apalagi dagingnya. Tentu lebih enak lagi.” Demikian ujarnya dengan sukacita.
Sejak kejadian itu, Prabu Dewata Cengkar memerintahkan
kepada juru masak dan Patih Medangkamulan agar setiap minggu menyediakan
masakan daging manusia untuk dijadikan santapan rajanya.
Mendengar penuturan tadi, Aji Saka terkejut dan marah
besar. Ia tidak rela manusia dikorbankan dan dagingnya dan dagingnya dijadikan
lauk-pauk si raja raksasa. Maka, janda itu diminta jangan bersedih karena Aji
Saka siap menggantikan anaknya menjadi korban untuk santapan Prabu Deata
Cengkar.
Ketika Aji Saka datang ke keraton dan menghadap Prabu
Dewata Cengkar, raja raksasa itu belum percaya bahwa Aji Saka mau menggantikn
anak si janda. “Semua sudah hamba pikirkan, Gusti,” ujar Aji Saka dengan
takzim. “Hanya, jika diperkenankan, hamba mempunyai sedikit permohonan.”
“Katakan, Aji Saka. Asal tidak minta gunung atau lautan
saja, akan saya penuhi,” ujar Prabu Dewata Cengkar tanpa berpikir panjang lagi.
Kemudian
Aji Saka menyampaikan, jiaka diperkenankan ia minta tanah selebar sorban untuk
mengubur sisa jasadnya yang tidak “digunakan” oleh Raja Medangkamulan itu. Setelah
diizinkan, Aji Saka melepas sorbannya untuk digelar. Tiga ujung sorban dipegang
oleh prajurit, sedangkan ujung sorban di sisi tenggara dipegang oleh Prabu
Dewata Cengkar. Aji Saka sendiri hanya menyaksikan di samping raja raksasa itu.
Anehnya,
begitu digelar sorban tadi bertambah lebar dan memanjang. Prabu Dewata Cengkar
dan prajurit yang memegangi sorban di bagian selatan menggelarnya sampai tebing
yang berbatasan dengan laut. Sampai di sana, tanpa diduga-duga Aji Saka
mendorong raja raksasa itu hingga terlempar ke laut. Begitu terlempar ke laut,
Prabu Dewata Cengkar berubah menjadi buaya putih. Merasa ditipu oleh Aji Saka,
buaya putih jelmaan Prabu Dewata Cengkar itu marah besar dan berusaha mengejar
Aji Saka sampai menimbulkan ombak cukup besar. Aji Saka mampu menghindar dan
buaya putih itu tidak dapat mengejarnya ke darat. Dengan demikian, dia seperti
terpenjara di Laut Selatan selama-lamanya.
Setelah
Prabu Dewata Cengkar berubah menjadi buaya di Laut Selatan, Aji Saka dinobatkan
menjadi Raja Medangkamulan dan bergelar Prabu Jaka. Beberapa waktu kemudian,
Sang Prabu mengutus Duga dan Prayoga memanggil Dora dan Sembada di Pulau Majeti
untuk diajak hidup bahagia di Keraton Medangkamulan.
Ketika
Duga dan Prayoga sampai di Pulau Majeti dan mengajak Dora dan Sembada ke
Medangkamulan, hanya Dora yang menyanggupi. Sembada menolak. Dia tetap
bersikukuh pad a perintah Aji Saka di masa lalu, jangan sekali-kali
meninggalkan Pulau Majeti jika tidak bersama-sama dengan Aji Saka sendiri. Sementara,
yang datang saat itu hanya Duga dan Prayoga.
Akhirnya,
Dora berangkat ke Medangkamulan bersama Duga dan Prayoga. Melihat Sembada tidak
datang, Aji Saka terkejut. Segera saja ia memerintahkan Dora untuk kembali ke
Pulau Majeti untuk menjemput Sembada. Kepada Dora ia juga memerintahkan agar Sembada
berangkat ke Medangkamulan membawa keris pusaka serta harta dari orang tuanya
yang dulu dititipkan kepada mereka berdua.
Begitu
Dora sampai di Pulau Majeti dan menyampaikan pesan Aji Saka, Sembada tetap
tidak bergeming. “Aku hanya akan berangkat ke Medangkamulan, jika Aji Saka
datang kemari,” ujarnya dengan mantap. Karena diantara keduanya merasa benar,
dan tidak ada yang mau mengalah, terjadilah perkelahian yang sia-sia dan
berakhir dengan bencana. Keduanya mati karena mempertahankan pendapat
masing-masing. Sembada tewas oleh keris Dora, demikian pula Dora tewas oleh
keris Sembada.
Setelah
Dora dan Sembada ditunggu sekian lama tidak juga datang, Prabu Jaka mengutus Duga
dan Prayoga ke Pulau Majeti. Sampai di Pulau Majeti, yang dicari tidak ketemu. Yang
ditemukan hanya mayat Dora dan Sembada yang sudah rusak.
Mendapat
laporan bahwa Dora dan Sembada telah tewas, barulah Aji Saka menyadari
kesalahannya. Kematian mereka tentu disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena
Dora diutus mengajak Sembada ke Medangkamulan sekaligus diperintahkan membawa
keris dan harta yang penjagaannya dipercayakan kepada mereka berdua. Padahal,
dulu Aji Saka berpesan, jangan memberikan benda-benda itu kepada siapa pun
kecuali kepada Aji Saka sendiri. Kedua, Sembada tentu bersikukuh tidak mau
meninggalkan Pulau Majeti jika tidak bersama Aji Saka, karena dulu Aji Saka
memang berpesan demikian.
Untuk
mengenang kesetiaan Dora dan Sembada, Aji Saka menciptakan semacam syair yang
terdiri dari 20 huruf. Bunyinya: ha-na-ca-ra-ka, da-ta-sa-wa-la,
pa-dha-ja-ya-nya, ma-ga-ba-tha-nga. Artinya dalam bahasa Jawa: ana utusan, beda panemune, padha
wanine/sektine, mati kabeh. Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia: ada
utusan, beda pendapatnya, sama-sama berani/sakti, mati semua.
Wujud
huruf yang diciptakan Aji Saka seperti di bawah ini:
Di Jawa, huruf ciptaan Aji Saka tersebut lazim
disebut carakan dan dalam perkembangannya dilengkapi dengan tanda-tanda untuk
memudahkan penggunaan. Misalnya, tanda yang berhubungan dengan bunyi (suara)
dan tanda jeda dalam penulisan kalimat. Tanda yang berhubungan dengan bunyi
(suara) adalah wulu, pepet, suku, taling,
dan taling tarung. Adapun tanda
untuk membuat jeda dalam penggunaan hurf, adalah: wignyam, layar, cecak, dan pangkon.
Huruf carakan banyak digunakan raja-raja Jawa dari generasi ke generasi untuk penulisan surat, peraturan, buku, dan tembang sebelum berkembangnya huruf Arab dan Latin. Selain itu, rangkaian huruf ciptaan Aji Saka juga dipercaya memuat ajaran luhur untuk para raja dan pemimpin di Jawa. Bahkan pada masa-masa berikutnya ada aliran kepercayaan yang menggunakan makna huruf carakan sebagai salah satu sumber pedoman ajarannya.
Di manakah jejak-tapak Aji Saka dapat ditemukan? Menurut legenda, banyak peninggalan (bangunan, tempat) di berbagai daerah yang dipercaya merupakan bukti jejak-tapak Aji Saka. Misalnya, Rawa Pening (Kabupaten Semarang) yang menjadi sumber utama Sungai Tuntang; bangunan sendang (kolam mata air) di Pengging (Kabupaten Boyolali); kemudian Bledhug Kuwu, sumber garam di Purwodadi (Kabupaten Grobogan).
Sumber:
Dongeng Negeri Kita, Antologi Cerita Rakyat
Nusantara
Penerjemah: Landung Simatupang, Y. Adhi Satiyoko
Penyunting: Joko Pinurbo, Dhenok Kristianti, Iman
Budhi Santosa
Menurut saya, cerita Awal Mula Terjadinya Huruf Jawa merupakan legenda. Karena, cerita ini memiliki bukti otentik yang sampai sekarang masih dapat dilihat dan dipergunakan oleh masyarakat Jawa, yaitu aksara Jawa. Meskipun kisah ini telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dikarenakan tidak adanya catatan sejarah yang menjadi bukti tertulis kisah ini, namun masyarakat mempercayainya sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi dan tetap menganggap cerita ini masuk ke dalam sejarah, oleh karena itu sejarah ini disebut juga sejarah "kolektif". Legenda Awal Mula Terjadinya Huruf Jawa ini termasuk ke dalam Legenda Setempat, dikarenakan legenda ini berhubungan dengan asal-muasal aksara disebuah daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar