Psychology Department, Gunadarma University

Rabu, 20 April 2016

KACAMATA (Tugas Softskill III)



           Pada zaman yang semakin berkembang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam banyak bidang semakin berkembang pula. Tak luput ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan, khususnya kesehatan mata. Berbagai penyakit mata seperti rabun jauh, rabun dekat, atau silinder sudah dapat diatasi menggunakan suatu alat yang bernama kacamata.


            Kacamata sebagai perkembangan dari teknologi optik menjadi suatu alat yang menjadi bagian dari tubuh manusia dalam relasinya dengan dunia sekitarnya. Mari kita melihat hubungan manusia dengan dunia melalui teknologi, yakni kacamata. Ciri-ciri teknologi optik adalah sebagai berikut, pertama, alat optik harus transparan supaya penglihatan dapat dilakukan melalui alat optik tersebut, jika alat optik tersebut buram, maka penglihatan tidak dapat terjadi karena alat optik tersebut tidak tembus cahaya. Kedua, tindakan melihat melalui alat optik membutuhkan proses belajar, misalnya ketika pertama kali memakai kacamata, kita membutuhka waktu untuk menyesuaikan diri. Rasa silau atau pantulan cahaya pada kacamata menanggu penglihatan. Akan tetapi, setelah beradaptasi dengan kacamata, kacamata tersebut menjadi bagian dari cara kita mengenali lingkungan kita. Kacamata menarik diri ke belakang dan tidak diperhatikan, yang menjadi fokus penglihatan adalah dunia di sekitar kita. Kacamata tersebut tidak menonjolkan diri, atau dapat dikatakan kita sudah menjadi satu dengan kacamata tersebut. Dengan kata lain, teknologi adalah simbiosis antara alat dan penggunanya dalam suatu tindakan manusiawi.


            Mengapa perkembangan kacamata menjadi begitu pesat hingga akhirnya sampai pada alat terbaru untuk membantu penglihatan yang disebut dengan lensa kontak? Perkembangan kacamata menjadi semaju sekarang dipengaruhi oleh keadaan dan gaya hidup manusia di era modern ini yang membutuhkan alat bantu penglihatan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari, alat bantu penglihatan ini tentunya juga disesuaikan dengan gaya atau style yang sedang trendy sekarang ini.


            Bagaimana sebaiknya seseorang menentukan dan membeli kacamata yang tepat untuk dirinya? Berikut terdapat beberapa tips untuk memilih kacamata yang tepat:
             1.  Tentukan anggaran
Karena tidak selalu kacamata mahal itu bagus, maka kamu harus menentukan dulu budget kamu sebelum pergi membeli kacamata. Jangan sampai karena promosi yang menggiurkan, kamu menghabiskan banyak uang hanya untuk membeli satu buah kacamata yang seharusnya bisa kamu beli dengan model yang sama dengan harga yang jauh lebih murah.

2.  Pilih lensa yang tepat
Lensa adalah hal yang paling penting dalam kacamata karena kesalahan memilih lensa mengakibatkan ketidaknyamanan pada mata. Untuk kamu yang banyak menghabiskan waktu di depan layar monitor, lensa kacamata yang berwarna akan membantu mengurangi ketegangan dan kelelahan pada mata kamu. Tetapi jika kamu banyak berkendara di malam hari, ada juga kacamata yang telah didesign menggunakan pelapis yang memudahkan untuk melihat di malam hari.
Jika kamu ingin kacamata yang lebih awet, maka pilihlah lensa dari bahan yang ringan dan tidak mudah pecah. Pemilihan lensa berbahan kaca dilakukan dengan alasan kamu tidak ingin kacamata kamu mudah tergores. Sementara itu, jika fungsi kacamata kamu lebih banyak digunakan di luar ruangan, maka pilih lensa dengan warna gelap. Saat ini telah banyak diproduksi lensa yang dilapisi dengan UV protection. Sedangkan untuk yang banyak beraktifitas di ruangan, sebaiknya pilih lensa yang dilapisi dengan anti radiasi. Ini cukup efektif bagi kamu yang banyak berhadapan dengan komputer untuk meredam radiasi komputer yang masuk ke mata.

3.   Pemasangan yang benar
Biasanya setelah memilih kacamata yang sesuai, optician akan memastikan bahwa kacamata benar-benar telah nyaman dipakai pada wajah kamu. Pada saat yang demikian, kamu harus memastikan bahwa kacamata yang kamu pilih nyaman di batang hidung juga pelipis kamu. Dengan kata lain, jangan sampai kamu memilih kacamata yang kebesaran ataupun kesempitan karena pastinya tidak nyaman digunakan.

4.  Sesuaikan dengan bentuk wajah
Bagi kamu yang sangat memperhatikan penampilan, tentunya kamu harus pandai menyesuaikan bentuk kacamata dengan bentuk wajah. Jika belum paham bentuk kacamata yang tepat untuk wajah kamu, maka cobalah berbagai model kacamata dengan frame yang berbeda hingga kamu menemukan bentuk yang cocok dan pas dengan wajah kamu. Atau jika masih kurang yakin, pada saat kamu mencoba kacamata satu per satu, kamu dapat mengajak seorang teman yang bisa menilai cocok tidaknya bentuk kacamata tersebut dengan bentuk wajahmu.

 5. Sesuaikan dengan warna kulit
Masalah warna ternyata juga mempengaruhi penampilan kamu saat berkacamata. Untuk kamu yang berkulit gelap, sebaiknya memilih warna abu-abu, coklat, metalik, atau putih tulang karena warna-warna ini akan membuat kulit kamu lebih cerah. Sementara untuk kulit sawo matang atau coklat, frame berwarna merah, abu-abu, atau coklat, hitam, dan hijau tua sangat sesuai untuk kamu. Sebaliknya, semua warna frame akan terlihat cocok dengan kulit putih bersih. Jadi, kenali warna kulit kamu sebelum memilih kacamata.

  6. Sesuaikan dengan postur tubuh
Frame dengan gaya kokoh, tebal, dan kuat atau sporty tentunya akan sangat cocok dikenakan oleh kamu yang bertubuh atletis dan tinggi besar. Sedangkan kamu yang tinggi kurus atau pun mungil, gunakan frame yang ringan dan tipis.


Sumber:
 Lim, Francis. 2008. Filsafat teknologi don ihde tentang dunia, manusia, dan alat.                        Kanisius: Yogyakarta.


Kamis, 14 April 2016

AWAL MULA TERJADINYA HURUF JAWA (Tugas Softskill II)


Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta



            Alkisah, di negeri Hindustan ada seorang brahmana yang mempunyai anak laki-laki bernama Aji Saka. Sejak kecil Aji Saka telah diajari berbagai ilmu pengetahuan dan kesaktian. Setelah dewasa, ia minta izin orang tuanya untuk pergi ke Tanah Jawa mencari tambahan pengalaman hidup dan mengamalkan ilmunya. Kepergian Aji Saka dengan kapal disertai keempat abdinya: Duga, Prayoga, Dora, dan Sembada.

            Karena kapal yang ditumpangi tidak jadi berlayar ke Jawa, Aji Saka dan pengiringnya turun di Pulau Majeti, sebuah pulau kecil dan penduduknya masih sedikit. Beberapa waktu kemudian, ketika ada kapal yang akan ke Jawa berlabuh di sana, ternyata penumpangnya sudah penuh. Nakhoda kapal hanya berani menambah tiga penumpang saja. Akhirnya mereka bersepakat, yang berangkat dulu Aji Saka beserta Duga dan Prayoga, sedangkan Dora dan Sembada untuk sementara ditinggal di Pulau Majeti.

            Sebelum berangkat, Aji Saka berpesan agar keduanya tidak meninggalkan Pulau Majeti kecuali dijemput oleh Aji Saka. Keduanya juga ditugaskan menjaga keris pusaka Aji Saka serta harta pemberian orang tuanya sebagai bekal dalam perjalanan. Keris dan harta tersebut tidak boleh diberikan kepada siapa pun kecuali kepada Aji Saka sendiri.

            Perjalanan Aji Saka akhirnya sampai ke Tanah Jawa di negeri Medangkamulan. Ketika lewat sebuah desa, ia melihat seorang janda tua menangis sambil memeluk anaknya di teritis rumah. Ketika ditanya mengapa menangis, janda itu mengaku bahwa besok anaknya akan disembelih dan dagingnya akan dijadikan santapan Prabu Dewata Cengkar, raja Kerajaan Medangkamulan.

            Dikisahkan, Prabu Dewata Cengkar adalah raja raksasa yang kepribadiannya berbeda dengan manusia biasa. Sifatnya buruk, seluruh tindakannya penuh angkara murka.

            Pada suatu hari, hampir saja Prabu Dewata Cengkar marah besar gara-gara masakan yang disajikan juru masak keraton rasanya jauh berbeda dari biasanya. Hambar! Maka, juru masak segera dipanggil dan ditanya mengapa masakannya lain dari biasanya. Apa sudah lupa kesenangan raja? Apa sengaja bikin marah junjungannya?

            Ditanya seperti itu, si juru masak ketakutan setengah mati. Sambil gemetar ia menjawab bahwa masakannya sama seperti kemarin-kemarin. Racikan bumbu tidak berubah, cara memasak pun sama. Untung saja, mendengar jawaban si juru masak, Prabu Dewata Cengkar tidak jadi marah dan hanya memerintahkan agar ia segera masak lagi yang lebih enak untuk makan siangnya.

            Mendapat perintah itu, si juru masak bergegas ke dapur. Karena ia memasak dengan tergesa-gesa, ketika merajang bawang jari telunjuknya teriris pisau sampai keluar darah cukup banyak. Ketika, ia memasukkan bumbu ke dalam wajan, darah yang masih menetes-netes itu tidak diperhatikan lagi, sehingga bercampur dengan masakan.

            Tidak disangka-sangka, masakan kedua itu justru dianggap lebih enak dan dipuji oleh Sang Prabu. Ketika ditanya bagaimana memasaknya menjadi enak seperti itu, si juru masak menjawab apa adanya, bahwa bumbu dan cara memasaknya sama, tidak ada perbedaan sama sekali. Prabu  Dewata Cengkar tidak percaya dan memaksa juru masak mengaku apa rahasianya.

            Akhirnya, sambil ketakutan ia mengaku bahwa masakannya tadi tercampur darah dari jarinya yang teriris pisau. Ia pun menunjukan telunjuk tangan kirinya yang masih luka dan dagingnya terkelupas. Mendengar pengakuan tersebut, Prabu Dewata Cengkar bukannya marah, melainkan tertawa terbahak-bahak, “Kalau darah manusia saja sudah membuat masakanmu jadi enak, apalagi dagingnya. Tentu lebih enak lagi.” Demikian ujarnya dengan sukacita.

            Sejak kejadian itu, Prabu Dewata Cengkar memerintahkan kepada juru masak dan Patih Medangkamulan agar setiap minggu menyediakan masakan daging manusia untuk dijadikan santapan rajanya.

            Mendengar penuturan tadi, Aji Saka terkejut dan marah besar. Ia tidak rela manusia dikorbankan dan dagingnya dan dagingnya dijadikan lauk-pauk si raja raksasa. Maka, janda itu diminta jangan bersedih karena Aji Saka siap menggantikan anaknya menjadi korban untuk santapan Prabu Deata Cengkar.

            Ketika Aji Saka datang ke keraton dan menghadap Prabu Dewata Cengkar, raja raksasa itu belum percaya bahwa Aji Saka mau menggantikn anak si janda. “Semua sudah hamba pikirkan, Gusti,” ujar Aji Saka dengan takzim. “Hanya, jika diperkenankan, hamba mempunyai sedikit permohonan.”

            “Katakan, Aji Saka. Asal tidak minta gunung atau lautan saja, akan saya penuhi,” ujar Prabu Dewata Cengkar tanpa berpikir panjang lagi.

Kemudian Aji Saka menyampaikan, jiaka diperkenankan ia minta tanah selebar sorban untuk mengubur sisa jasadnya yang tidak “digunakan” oleh Raja Medangkamulan itu. Setelah diizinkan, Aji Saka melepas sorbannya untuk digelar. Tiga ujung sorban dipegang oleh prajurit, sedangkan ujung sorban di sisi tenggara dipegang oleh Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka sendiri hanya menyaksikan di samping raja raksasa itu.

Anehnya, begitu digelar sorban tadi bertambah lebar dan memanjang. Prabu Dewata Cengkar dan prajurit yang memegangi sorban di bagian selatan menggelarnya sampai tebing yang berbatasan dengan laut. Sampai di sana, tanpa diduga-duga Aji Saka mendorong raja raksasa itu hingga terlempar ke laut. Begitu terlempar ke laut, Prabu Dewata Cengkar berubah menjadi buaya putih. Merasa ditipu oleh Aji Saka, buaya putih jelmaan Prabu Dewata Cengkar itu marah besar dan berusaha mengejar Aji Saka sampai menimbulkan ombak cukup besar. Aji Saka mampu menghindar dan buaya putih itu tidak dapat mengejarnya ke darat. Dengan demikian, dia seperti terpenjara di Laut Selatan selama-lamanya.

Setelah Prabu Dewata Cengkar berubah menjadi buaya di Laut Selatan, Aji Saka dinobatkan menjadi Raja Medangkamulan dan bergelar Prabu Jaka. Beberapa waktu kemudian, Sang Prabu mengutus Duga dan Prayoga memanggil Dora dan Sembada di Pulau Majeti untuk diajak hidup bahagia di Keraton Medangkamulan.

Ketika Duga dan Prayoga sampai di Pulau Majeti dan mengajak Dora dan Sembada ke Medangkamulan, hanya Dora yang menyanggupi. Sembada menolak. Dia tetap bersikukuh pad a perintah Aji Saka di masa lalu, jangan sekali-kali meninggalkan Pulau Majeti jika tidak bersama-sama dengan Aji Saka sendiri. Sementara, yang datang saat itu hanya Duga dan Prayoga.

Akhirnya, Dora berangkat ke Medangkamulan bersama Duga dan Prayoga. Melihat Sembada tidak datang, Aji Saka terkejut. Segera saja ia memerintahkan Dora untuk kembali ke Pulau Majeti untuk menjemput Sembada. Kepada Dora ia juga memerintahkan agar Sembada berangkat ke Medangkamulan membawa keris pusaka serta harta dari orang tuanya yang dulu dititipkan kepada mereka berdua.

Begitu Dora sampai di Pulau Majeti dan menyampaikan pesan Aji Saka, Sembada tetap tidak bergeming. “Aku hanya akan berangkat ke Medangkamulan, jika Aji Saka datang kemari,” ujarnya dengan mantap. Karena diantara keduanya merasa benar, dan tidak ada yang mau mengalah, terjadilah perkelahian yang sia-sia dan berakhir dengan bencana. Keduanya mati karena mempertahankan pendapat masing-masing. Sembada tewas oleh keris Dora, demikian pula Dora tewas oleh keris Sembada.

Setelah Dora dan Sembada ditunggu sekian lama tidak juga datang, Prabu Jaka mengutus Duga dan Prayoga ke Pulau Majeti. Sampai di Pulau Majeti, yang dicari tidak ketemu. Yang ditemukan hanya mayat Dora dan Sembada yang sudah rusak.

Mendapat laporan bahwa Dora dan Sembada telah tewas, barulah Aji Saka menyadari kesalahannya. Kematian mereka tentu disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena Dora diutus mengajak Sembada ke Medangkamulan sekaligus diperintahkan membawa keris dan harta yang penjagaannya dipercayakan kepada mereka berdua. Padahal, dulu Aji Saka berpesan, jangan memberikan benda-benda itu kepada siapa pun kecuali kepada Aji Saka sendiri. Kedua, Sembada tentu bersikukuh tidak mau meninggalkan Pulau Majeti jika tidak bersama Aji Saka, karena dulu Aji Saka memang berpesan demikian.

Untuk mengenang kesetiaan Dora dan Sembada, Aji Saka menciptakan semacam syair yang terdiri dari 20 huruf. Bunyinya: ha-na-ca-ra-ka, da-ta-sa-wa-la, pa-dha-ja-ya-nya, ma-ga-ba-tha-nga. Artinya dalam bahasa Jawa: ana utusan, beda panemune, padha wanine/sektine, mati kabeh. Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia: ada utusan, beda pendapatnya, sama-sama berani/sakti, mati semua.

Wujud huruf yang diciptakan Aji Saka seperti di bawah ini:
                               

Di Jawa, huruf ciptaan Aji Saka tersebut lazim disebut carakan dan dalam perkembangannya dilengkapi dengan tanda-tanda untuk memudahkan penggunaan. Misalnya, tanda yang berhubungan dengan bunyi (suara) dan tanda jeda dalam penulisan kalimat. Tanda yang berhubungan dengan bunyi (suara) adalah wulu, pepet, suku, taling, dan taling tarung. Adapun tanda untuk membuat jeda dalam penggunaan hurf, adalah: wignyam, layar, cecak, dan pangkon.

       Huruf carakan banyak digunakan raja-raja Jawa dari generasi ke generasi untuk penulisan surat, peraturan, buku, dan tembang sebelum berkembangnya huruf Arab dan Latin. Selain itu, rangkaian huruf ciptaan Aji Saka juga dipercaya memuat ajaran luhur untuk para raja dan pemimpin di Jawa. Bahkan pada masa-masa berikutnya ada aliran kepercayaan yang menggunakan makna huruf carakan sebagai salah satu sumber pedoman ajarannya.

   Di manakah jejak-tapak Aji Saka dapat ditemukan? Menurut legenda, banyak peninggalan (bangunan, tempat) di berbagai daerah yang dipercaya merupakan bukti jejak-tapak Aji Saka. Misalnya, Rawa Pening (Kabupaten Semarang) yang menjadi sumber utama Sungai Tuntang; bangunan sendang (kolam mata air) di Pengging (Kabupaten Boyolali); kemudian Bledhug Kuwu, sumber garam di Purwodadi (Kabupaten Grobogan).

Sumber:
Dongeng Negeri Kita, Antologi Cerita Rakyat Nusantara
Penerjemah: Landung Simatupang, Y. Adhi Satiyoko
Penyunting: Joko Pinurbo, Dhenok Kristianti, Iman Budhi Santosa




Menurut saya, cerita Awal Mula Terjadinya Huruf Jawa merupakan legenda. Karena, cerita ini memiliki bukti otentik yang sampai sekarang masih dapat dilihat dan dipergunakan oleh masyarakat Jawa, yaitu aksara Jawa. Meskipun kisah ini telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dikarenakan tidak adanya catatan sejarah yang menjadi bukti tertulis kisah ini, namun masyarakat mempercayainya sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi dan tetap menganggap cerita ini masuk ke dalam sejarah, oleh karena itu sejarah ini disebut juga sejarah "kolektif". Legenda Awal Mula Terjadinya Huruf Jawa ini termasuk ke dalam Legenda Setempat, dikarenakan legenda ini berhubungan dengan asal-muasal aksara disebuah daerah.